![]() |
Oleh: RM. Ramli J. Sasmita
|
Infodesaku | Seni
adalah bahasa hidup yang universal lewatseni
kita
curahkan isi kandungan pikiran dan perasaan ( Emosi ). Banyak pihak yang
melihat perkembangan mental dan moral
masyarakat Indonesia terlebih lagi generasi muda sangat memperihatinkan,
bahkan keprihatinan itu menjadi sangat nyata saat mana menelusuri pada apa yang
terjadi dan dialami masyarakat, yaitu kemerosotan moral dan pergeseran budaya.
Yang paling menyedihkan lagi adalah jika kita kehilangan budaya yang merupakan
jatidiri bangsa. Sekarang ini kita disuguhkan peda sebuah kenyataan yang
memilukan yaitu sikap dan gaya hidup generasi muda.
Pemuda
adalah agent of change ( agen perubahan ). Setiap perjuangan mustahil berhasil
sukses tanpa keterlibatan pemuda, karna masa muda adalah masa yang sangat
bernilai, penuh warna, syarat dengan makna. Masa muda tak akan pernah terulang
untuk kedua kali segala minat, bakat, kemauan, kemampuan dan potensi berkumpul
di dalamnya. Masa itulah kehidupan yang sebenarnya, dan tentunya masa itulah
manusia butuh alat yang di gunakan untuk menunjukan arah yang harus di tuju dengan
sebuah panduan kebenaran yang hakiki.
Pandangan kehawatiran diatas
sangat beralasan, karna krisis yang di alami masyarakat kita sudah pada tataran
krisis multidimensional, karna saling mengkait, di awali dari krisis moral,
lalu merambah pada krisis ekonomi yang tak kunjung henti, maka dengan
sendirinya akan berdampak pada krisis sosial, krisis kepercayaan dan krisis –
krisis lainnya.
Tingkah generasi muda terkadang
aneh, melewati norma – norma yang berlaku padahal seperti yang telah kita
singgung di atas, kalau masa ini adalah masa yang menentukan prestasi masa
ujian untuk menghadapi masa yang akan datang yang penuh dengan ombak kehidupan.
Kita dihadapkan pada sebuah
pemandangan yang “ Ironis....“ sebuah generasi yang seharusnya menjadi tumpuan
masa depan suatu bangsa dengan mengusung berjuta – juta harapan menggembirakan,
tetapi bagaimana kenyataannya...? mayoritas pemuda hari ini terperosok dalam
budaya yang menyesatkan, mereka terjebak oleh media dan sarana pemuas,
hedonistis dan matrealistis mereka menggunakan masa muda dengan aktifitas tak
bermakna, merusak diri dan menghancurkan potensi mereka terhempas menjadi
generasi yang tak memiliki jatidiri.
Kita di paksa untuk mengakui
betapa hebat dan dasyatnya pengaruh budaya asing yang mampu menjauhkan generasi
muda dari budaya bangsanya. Apa yang kitadapatihariini? “Sekularisme”, “Liberalisme”, sampai kepada
pengrusakan perilaku dan pola pikir. Apabila keadaan ini sudah sampai padatahapan krisis kepercayaan diri, maka eksistensi bangsa ini sedang dipertaruhkan. Kita sadari kenyataan hari ini tak lepas dari pengaruh seni yang sangat dipengaruhi oleh kreatornya.
Padatataran ini yang sangat mudah dan murah didapat adalah produk seni dalam bingkai audiovisual. Kreator seni (audiovisual) seakan tidak lagi mengindahkan komponen-komponen yang
merupakan konstruksi dasar seni audiovisual, yaitu:
rekreasi, kreasi, edukasi, dan edutainment. Boleh jadi pengingkaran komponen – komponen seni saat ini berawal dari kesalahan menghayati dan menerapkan konsep awal “seni adalah bahasa hidup yang
universal”.Kesalahan inilah
yang menjerumuskan.
Kita cermati karya seni yang marak di stasiun televisi
dewasa ini sudah dapat dikatakan telah terjadi pergeseran nilai yang berakibat pada
pergeseran moral dan berujung pada pergeseran budaya anak bangsa yang tujuannya
adalah pengeroposan suatu bangsa. Dengan iming- iming popularitas maka para kreator
tampil menjadi sekelompok “invaser laten” yang kehadirannya justru disambut sebagai
“seorang pahlawan”, padahal cerita yang disuguhkan adalah pembelajaran kedengkian,
keculasan, sadistis, dangayahidup metropolis (glamour
dandugem). Dengan mendalami masalah yang ada saat ini, maka sekaranglah waktu
yang tepat untuk melakukan re-evaluasi terhadap proses terbentuknya (pembuatan)
sebuah karya seni (audiovisual). “Melawan karya dengan karya” merupakan suatu konfigurasi
sistematik yang serupa namun bertumpu pada dogma-dogma berkesenian. Dalam konteks berbangsa
panduan hidup dan Dasar bernegara orang Indonesia adalah“ PANCASILA” yang sudah
pasti menjadi Dasar melangkah pula bagi para pelaku seni dan budaya didalamnya.
Seperti seorang Reny Djayusman mengatakan, “Mari kita berdarah-darah
dalam berkesenian”. Dedy Mizwar berkata, “Mari kita ciptakan masyarakat film
Indonesia yang mengedepankan potret bangsa dengan segala dimensi kehidupannya. Pernyataan dua sineas papan
atas ini mengisyaratkan sebuah perjuangan panjang dan pentingnya para pelaku seni
untuk berproses, untuk menjadi seorang seniman, dan perlu sebuah kejujuran dalam
berkarya serta mengangkat cerita. Ini
merupakan bukti bahwasanya kedua tokoh seni Nasional ini adalah sosok yang
sangat mencintai Bangsanya, itu semua karna telah begitu dalamnya mereka
memahami makna yang terkandung dalam “ PANCASILA “ Pertanyaannya
sekarang adalah “ Sudahkah kita dapatkan para kreator saat ini seperti yang
diharapkan oleh para maestro seni diatas?”
Maka antara
kreator dan karya yang dihasilkannya seperti diuraikan diatas, didalamnya terkandung
beberapa hal:
1.
Kemerdekaan berekspresi, atau “bebas” (tidak dibatasi saat
menuangkan isi pikiran dan perasaan). Dalam kontek sini, seniman/ kreator tidak
boleh ditunggangi oleh kepentingan lain, selain kepentingan karya seni itu sendiri.
Tentunya dengan berpijak pada komponen-komponen seni (rekreasi, kreasi,
edukasi, dan edutainment).
2.
Berhimpun, bersatunya top professional, bersatunya seluruh
unsur terkait dalam upaya menghasilkan karya seni adalah mutlak harus dilakukan
oleh para insan seni.
3.
Kekuan. Dalam kontek sini, seniman/kreatordi tuntut untuk
memiliki kekuatan dalam bersikap. Seniman tidakboleh mengorbankan kekuatannya/idealisme
sebagai sebuah profesi yang memiliki “kemerdekaan berekspresi” hanya karena ingin
mendapatkan prestise, pengakuan dan popularitas.
Sikap yang melawan penjajahan, tekanan dalam berkarya adalah sikap yang
mendasari konstruksi seni yang ditopang oleh emat komponen dasar (rekreasi,
kreasi, edukasi, edutainment). Seniman, sineas, atau kreator harus berani mengatakan
“tidak” terhadap tekanan-tekanan yang berujung pada sebuah upaya melacurkan seni.
Sikap para pelaku seni (seniman/sineas/kreator) yang kompromistis, sudah barang
tentu menghasilkan karya-karya yang bersifat temporer, karena secara sadar mereka
telah menyetujui sebuah upaya mereduksi ide briliannya hanya untuk kepentingan sesaat.
Akibat fatal yang kita saksikan sekarang ini adalah “sebuah kenyataan” telah terjadi
kemerosotan moral dan pergeseran budaya anak bangsa.
Setiap individu memiliki kewajiban yang sama yaitu untuk
mengkampanyekan “ILMU, BUDAYA, AGAMA” dalam konteks berkesenian, serta mengedepankan
sikap:
a.
Aspiratif, semua proses program berkesenian harus mengedepankan
kepentingan umum.
b.
Komunikatif, semua rencana kegiatan, program seni dan berkesenian
harus mampu membangun sebuah komunikasi.
c.
Kreatif, karya seni yang dihasilkan merupakan kreatifitas
yang muncul dari kemampuan pribadi (dirisendiri) untuk menjamin keberhasilan sebuah
karya.
d.
Inovatif, sebagai seorang pelaku seni harus mampu untuk
selalu membuat terobosan-terobosan baru dalam karyanya.
Kreator dan karyanya seperti diuraikan
diatas, akan
dapat terwujud bila saja mereka menyadari jika apa yang dilakukannya akan dapat
mempengaruhi sudut pandang orang lain sebagai penikmat. Maka mau tidak mau suka
tidak suka para kreator harus rela mengikatkan diri dan diikat oleh satu dasar
yang kuat, yang menyeluruh dan yang sudah sama-sama disepakati.
Posting Komentar
Silahkan Anda Beri Komentar Pada Berita Ini, Sebagai Penyemangat Kami Dalam Memberikan Berita Terbaik Untuk Anda