Infodesaku -“Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 UUD 1945). Ini
adalah pesan konstitusional dari sumber hukum tertinggi di Negara Republik
Indonesia, yang melindungi dan memihak segenap bangsa Indonesia, tanpa
terkecuali.
Rakyat dapat dikatakan
“makmur” apabila telah memiliki kemandirian secara ekonomi, yang terwujud
melalui kedaulatan politik, berupa kebebasan dan kepastian hak untuk mengakses
lahan sebagai sumber daya produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan
taraf kesejahteraan.
Kepastian hak adalah
sesuatu yang sangat fundamental. Tanpa adanya kepastian hak, rakyat akan enggan
untuk memanfaatkan suatu lahan. Seandainya pun terpaksa memanfaatkan karena
terhimpit oleh kebutuhan hidup, kekhawatiran jika suatu saat digusur atau
“dicuri” hasil panennya akan selalu menjadi momok yang menghantui bahkan dalam
tidur mereka.
Sejatinya, saat revolusi
kemerdekaan berhasil dicapai di tahun 1945, tidak lama setelah itu Soekarno selaku
presiden pertama RI mengingatkan kepada segenap rakyat Indonesia, bahwa
“Revolusi belum berakhir!”
Revolusi kemerdekaan yang secara fisik telah diraih harus diikuti oleh revolusi yang lain, termasuk di bidang hukum dan agraria. Sehingga, di tahun 1960 lahirlah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai penjabaran dari semangat pasal 33 UUD 1945 telah mengatur segala hal terkait urusan agraria. Undang-undang ini memiliki semangat nasionalis dan populis, yang berarti mengutamakan rakyat (manusia) daripada korporasi dan mencegah kesenjangan dalam kepemilikan tanah. Namun apa lacur, sebelum “reforma agraria” berbasis UUPA sempat dijalankan, rezim dan orientasi politik berubah. Berbagai produk hukum yang lebih pro-kapitalisme dan liberalisme dimana hanya berpihak pada segelintir golongan kepentingan dikeluarkan dan UUPA dengan begitu saja terpinggirkan.
Revolusi kemerdekaan yang secara fisik telah diraih harus diikuti oleh revolusi yang lain, termasuk di bidang hukum dan agraria. Sehingga, di tahun 1960 lahirlah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai penjabaran dari semangat pasal 33 UUD 1945 telah mengatur segala hal terkait urusan agraria. Undang-undang ini memiliki semangat nasionalis dan populis, yang berarti mengutamakan rakyat (manusia) daripada korporasi dan mencegah kesenjangan dalam kepemilikan tanah. Namun apa lacur, sebelum “reforma agraria” berbasis UUPA sempat dijalankan, rezim dan orientasi politik berubah. Berbagai produk hukum yang lebih pro-kapitalisme dan liberalisme dimana hanya berpihak pada segelintir golongan kepentingan dikeluarkan dan UUPA dengan begitu saja terpinggirkan.
Ketika era reformasi
bergulir, mulai terlihat secercah harapan. Demokrasi dan penegakan hak asasi
manusia menjadi focus issue yang
membuka peluang lebih besar bagi rakyat untuk merebut kembali kedaulatan dan
memperjuangkan berbagai hal yang sebelumnya terpasung. Salah satunya adalah
tentang reforma agraria.
Definisi “agraria” yang
hanya merujuk pada arti pertanian atau tanah pertanian saja merupakan
penafsiran yang tidak tepat sehingga menyebabkan penyempitan makna. Agraria
secara etimologis berasal dari kata dalam bahasa Latin “ager” yang artinya (a) lapangan; (b) pedusunan (sebagai lawan
“perkotaan”); (c) wilayah; (d) tanah Negara. Sementara “reforma” berarti
perubahan atau pembaharuan.
Reforma agraria dalam
pasal 2 TAP MPR RI nomor IX/MPR/2001 berarti “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan
berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian
dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia”.
Reforma agraria menuntut
adanya langkah awal dalam perubahan (perbaikan) struktur penguasaan dan pemilikan
lahan sebagai sumberdaya agraria. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi hegemoni
golongan atau bahkan tumpang tindih pemilikan terhadap lahan yang pada akhirnya
akan menyebabkan konflik agraria, baik secara vertikal maupun horizontal di
masyarakat.
Masih segar dalam
ingatan kita terhadap kasus Mesuji (Lampung), kasus makam Mbah Priok (Jakarta),
Alas Tlogo (Pasuruan), dan Ogan Ilir (Sumatra Selatan) yang menelan banyak
korban jiwa. Tragedi berdarah yang pada intinya disebabkan oleh konflik agraria.
Konflik agraria semacam ini akan mengancam persatuan dan kedaulatan rakyat
Indonesia, serta kerap meresahkan wong
cilik karena peradilan yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa lebih
sering dimenangi oleh para kapitalis pemilik modal. Selain itu, proses
pembangunan pun akan terhambat karena sulitnya proses inventarisasi sehingga
berdampak pada minimnya data yang diperlukan untuk membuat sebuah kebijakan.
Konflik agraria karena
tumpang-tindih penguasaan lahan juga terjadi di Bogor (Kota dan Kabupaten).
Masih banyak diketemukan lahan yang rangkap status dan pemilikan. Bahkan pada
satu kasus, disinyalir terdapat hingga 7 bentuk penguasaan pada satu lahan yang
sama. Ironisnya, kondisi serupa juga terjadi pada aset-aset pemerintahan, seperti
misalnya kantor desa banyak yang tidak memiliki kepastian terhadap lahannya.
Mengapa hal ini bisa
terjadi? Apakah aturan yang ada masih belum jelas? Ataukah justru oknum yang
memiliki wewenang dan memahami aturan sengaja melakukan demi sekedar untuk
meraup keuntungan pribadi? Bagaimana pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
instansi terkait dalam mengawal pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, serta
menyikapi berbagai konflik agraria yang terjadi? Tentunya ini
membutuhkan perhatian dari kita semua, seluruh elemen masyarakat. (BCB)
Posting Komentar
Silahkan Anda Beri Komentar Pada Berita Ini, Sebagai Penyemangat Kami Dalam Memberikan Berita Terbaik Untuk Anda